Sejarah Museum Kebangkitan Nasional

DARI SEKOLAH DOKTER DJAWA KE STOVIA

1847
Awal berdirinya pendidikan kedokteran di Indonesia

Awal berdirinya pendidikan kedokteran di Indonesia ini, ada kaitannya dengan pemberantasan berbagai penyakit menular (tipes, kolera, disentri dan lain-lain) yang tersebar di daerah Banyumas dan Purwokerto. Wabah penyakit tersebut tidak dapat diberantas oleh tenaga medis pemerintahan Hindia Belanda yang jumlahnya terbatas, begitu juga dengan cara pengobatan yang telah ada pada waktu itu (tradisional), sehingga ada usul dari Kepala Jawatan Kesehatan waktu itu Dr. W. Bosch untuk mendidik beberapa anak Bumiputra menjadi pembantu dokter Belanda.

1849
keputusan Gubernemen

Keluar keputusan Gubernemen yang menetapkan bahwa di rumah sakit militer akan dididik 30 pemuda Jawa dari keluarga baik-baik serta pandai menulis dan membaca bahasa Melayu dan jawa untuk menjadi dokter pribumi dan “vaccinateur” (mantri cacar). Selesai pendidikan mereka harus bersedia masuk dinas pemerintahan sebagai mantri cacar.

1851
Berdirilah Sekolah Dokter Djawa di Rumah Sakit Militer Weltevreden

Berdirilah Sekolah Dokter Djawa di Rumah Sakit Militer Weltevreden dengan masa pendidikan 2 tahun. Pendidikan diikuti oleh 12 orang yang semuanya berasal dari Pulau Jawa. Materi pelajaran meliputi cara mencacar dan memberikan pertolongan kepada penderita sakit panas dan sakit perut. Bahasa pengantar menggunakan bahasa Melayu.

1853
Lulusan Sekolah Dokter Djawa

Sekolah Dokter Djawa meluluskan 11 pelajar dan menyandang gelar Dokter Djawa. Mereka dipekerjakan sebagai mantri cacar, diperbantukan di Rumah Sakit dan membantu dokter militer merangkap dokter sipil.

1856
Penerimaan Murid diluar Pulau Jawa

Sekolah Dokter Djawa mulai menerima murid yang berasal dari Pulau Jawa, yaitu dari Minangkabau (Sumatera) 2 orang dan Minahasa (Sulawesi) 2 orang.

1864
Peningkatan Lama pendidikan Sekolah Dokter Djawa

Lama pendidikan Sekolah Dokter Djawa ditingkatkan dari 2 tahun menjadi 3 tahun dengan jumlah siswa dibatasi 50 orang. Perubahan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas para dokter sehingga mampu bekerja sendiri dibawah pengawasan dokter Belanda dan Kepala Pemerintahan Daerah. Namun pengabdian para dokter lulusan Sekolah Dokter Djawa dimasyarakat mendapat penolakan dari beberapa dokter Belanda, sehingga sejak tahun 1864 pemerintah kolonial mencabut wewenang praktek dokternya, dan memperkerjakan mereka sebagai mantri cacar. Perubahan besar terjadi pada tahun 1875 karena lama pendidikannya ditingkatkan menjadi 7 tahun, dengan jumlah murid 100 orang.

1899
Usulan Dr. H.F Roll

Atas usul Dr. H.F Roll dibangun gedung baru. Pembangunan gedung ini mendapatkan bantuan dari 3 orang pengusaha Belanda dari Deli yaiotu, P.W Janssen, J. Nienhuys dan H.C van den Honert. Bulan September 1901 di Betawi muncul wabah penyakit beri-beri dan kolera yang juga menimpa para pelajar Sekolah Dokter Djawa, sehingga pemindahan pelajar dari rumah sakit militer Weltevreden ke gedung di Hospitaalweg tertunda.

1902
Peresmian Gedung Baru Stovia

Pada 1 Maret 1902 gedung baru tersebut mulai resmi digunakan untuk STOVIA (School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen) yaitu Sekolah Kedokteran Bumiputra. Munculnya STOVIA menandai berakhirnya Sekolah Dokter Djawa. Selama menjalani pendidikan, pelajar STOVIA diharuskan tinggal di dalam asrama yang menerapkan sikap disiplin dan tanggung jawab yang ketat. Jadwal kegiatan sudah ditentukan dari pagi sampai malam hari, bagi mereka yang melanggar ketentuan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan kesalahan yang diperbuatnya.

 

Pelajar yang masuk ke STOVIA diwajibkan membuat surat perjanjian (acte van verband). Isi surat tersebut akan mengikat lulusan SOTVIA untuk bekerja pada dinas pemerintahan selama 10 tahun berturut-turut, dimana saja tenaganya diperlukan. Kalau tidak ia bersama orang tua atau walinya akan mengembalikanbiaya pendidikan selama 9 tahun kepada pemerintah. Namun perjanjian tersebut merisaukan dan memberatkan pelajar-pelajar yang masih melangsungkan pendidikannya sehingga diantara mereka banyak yang berhenti dan sekolahpun kekurangan murid. Sehingga surat perjanjian tersebut ditinjau kembali dan akhirnya ketentuan itu hanya diberlakukan pada pelajar baru. Setelah itu proses pendidikanpun berlangsung normal kembali.

1919
Berdiri rumah sakit Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting

Berdiri rumah sakit Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting di Salemba yang dipimpin oleh Dr. Hulskoff. Di rumah sakit inilah dijadikan sebagai tempat praktek pelajar STOVIA karena sarana dan prasarananya lebih lengkap dan modern.

1920
Pemindahan kegiatan pendidikan STOVIA

Pada 5 Juli 1920 secara resmi seluruh kegiatan pendidikan STOVIA dipindahkan ke jalan Salemba yang sampai sekarang dikenal dengan “Fakultas Kedokteran Universitan Indonesia”. Sedangkan STOVIA lama dipergunakan untuk asrama pelajar. Pada 1925 gedung STOVIA lama tidak lagi dimanfaatkan untuk kegiatan pembelajaran Sekolah Kedokteran Bumiputra, tapi menjadi tempat pendidikan untuk MULO (setingkat SMP), AMS (setingkat SMA) dan Sekolah Asisten Apoteker. Dan masuknya bala tentara Jepang pada tahun 1942 mengakhiri penggunaan Gedung STOVIA sebagai tempat kegiatan pembelajaran

SEJARAH MUSEUM KEBANGKITAN NASIONAL

                 STOVIA merupakan penyempurnaan dari sistem pendidikan kedokteran Sekolah Dokter Jawa yang didirikan pada tahun 1851 di Rumah Sakit Militer Weltevreeden (sekarang Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto). Sekolah Dokter Jawa menempati salah satu bangunan yang ada dalam rumah sakit militer, karena pengajarnya merangkap sebagai dokter di rumah sakit tersebut.

Aktifitas pendidikan dan asrama Sekolah Dokter Jawa yang berlangsung setiap hari dinilai mengganggu kenyamanan rumah sakit, karena itu dewan pengajar memutuskan untuk memindahkannya dari lingkungan rumah sakit militer Weltevreden. Tahun 1899 Direktur Sekolah Dokter Jawa Dokter H.F. Rool, mulai melaksanakan pembangunan gedung baru disamping rumah sakit militer.

Kegiatan pembangunan gedung sempat terhenti karena kekurangan biaya, karena itu Dokter H.F. Rool selaku Direktur Sekolah Dokter Jawa berjuang keras mengumpulkan dana untuk membiayai pembangunan gedung tersebut. Berkat bantuan pengusaha perkebunan dari Deli, pembangunan gedung dan asrama pelajar kedokteran dapat diselesaikan pada bulan September 1901.

Tanggal 1 Maret 1902 gedung tersebut secara resmi digunakan untuk pendidikan kedokteran dan asrama yang dilengkapi dengan berbagai macam fasilitas yang dibutuhkan oleh penghuninya. Gedung baru tersebut menjadi tempat belajar dan tempat tinggal yang menyenangkan, karena lingkungan sekitar gedung sangat asri. Halaman gedung dipenuhi hamparan rumput diselingi dengan taman-taman yang indah.

Pemanfaatan gedung baru menandai terjadinya perubahan dalam sistem pendidikan kedokteran di Hindia Belanda, Sekolah Dokter Jawa diganti menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) atau Sekolah Dokter Bumiputra dengan masa pendidikan 9 tahun. Kurikulum pendidikan di STOVIA disesuaikan dengan School Voor Officieren van gezondeid di Utrech, sehingga lulusan STOVIA diharapkan sama dengan lulusan sekolah serupa di Eropa.

Pelajar STOVIA yang sudah menyelesaikan pendidikannya mendapatkan gelar Inlandsch Arts atau dokter Bumiputra. Mereka diangkat menjadi pegawai pemerintah dan ditempatkan di daerah-daerah terpencil untuk mengatasi berbagai macam penyakit menular. Dokter-dokter muda ini akan dibekali dengan tas kulit yang berisi alat-alat kedokteran dan uang saku untuk perjalanan menuju lokasi tugas.

Tanah yang digunakan untuk membangun gedung STOVIA berbentuk persegi panjang yang tidak sempurna. Bangunan di bagian timur dimanfaatkan untuk kantor direktur, kantor dewan pengajar, tata usaha, poliklinik dan ruang kelas. Bangunan di bagian utara, barat dan selatan dimanfaatkan sebagai asrama yang dilengkapi dengan kamar mandi. Pada bagian tengah halaman terdapat tiga bangunan yang dimanfaatkan untuk praktek fisika dan kimia, kegiatan senam (gymnastic) dan ruang rekreasi.

STOVIA menjadi lembaga pendidikan pertama yang menjadi tempat berkumpulnya para pelajar dari berbagai wilayah, karena pemerintah memberi kesempatan yang sama untuk menjadi pelajar STOVIA kepada semua anak bumi putera yang memenuhi syarat. Pelajar STOVIA umumnya memiliki kecerdasan yang cukup tinggi, karena persyaratan untuk masuk menjadi pelajar STOVIA harus melalui proses yang sangat ketat dan selektif.

Anak-anak yang sudah diterima menjadi pelajar STOVIA harus tinggal dalam asrama yang dipimpin oleh seorang pengawas Indo-Belanda yang disebut dengan suppoost. Interaksi yang terjadi dalam kehidupan asrama STOVIA menjadi media untuk mempelajari adat istadat suku bangsa lain, sehingga tercipta suasana saling memahami akan perbedaan kehidupan sosial dan kebudayaan. Rasa persaudaraan antar penghuni asrama sudah mulai lahir, mereka sudah tidak lagi memperdulikan perbedaan etnis, budaya atau agama.

Seiring dengan perkembangan zaman gedung STOVIA dianggap tidak representatif lagi untuk dijadikan sebagai tempat pendidikan dokter, karena itu pemerintah Hindia Belanda membangun gedung baru di Salemba yang bernama Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting (sekarang menjadi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo). Gedung tersebut menjadi tempat pendidikan kedokteran merangkap rumah sakit, peralatan kedokteran yang ada didalamnya sama dengan yang ada di Eropa.

Mulai bulan Juli 1920 kegiatan pendidikan STOVIA pindah ke gedung baru di Salemba, ruang-ruang kelas yang ada dimanfaatkan sebagai tempat belajar Sekolah Asisten Apoteker. Pelajar STOVIA diberikan kebebasan untuk memilih tempat tinggal di asrama STOVIA atau kos di rumah penduduk yang ada di daerah sekitar Salemba.

Tahun 1926 gedung STOVIA tidak lagi dimanfaatkan untuk kegiatan pendidikan, semua aktifitas pendidikan kedokteran dipindahkan ke Salemba termasuk asrama para pelajarnya. Pemerintah kolonial HINDIA Belanda kemudian memanfaatkan gedung STOVIA sebagai tempat pendidikan sekolah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang berarti pendidikan dasar lebih luas atau setara dengan SMP dimasa sekarang.

PERISTIWA BERSEJARAH DI GEDUNG KEBANGKITAN NASIONAL

1907
Desember
Dokter Wahidin Soedirohoesodo mengadakan ceramah tentang Studie Founds (beasiswa) dihadapan pelajar STOVIA.
1908
20 Mei
STOVIA mendeklarasikan berdirinya organisasi modern pertama Boedi Oetomo.
1915
7 Maret
Pelajar STOVIA mendirikan organisasi kepemudaan pertama Tri Koro Dharmo.
1973
6 April
Gedung STOVIA mulai dipugar oleh pemerintah DKI Jakarta.
1983
12 Desember
Presiden Soeharto meresmikan pemanfaatan Gedung Kebangkitan Nasional.
1984
7 Februari
Pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan sebuah Museum di dalam Gedung Kebangkitan Nasional dengan nama Museum Kebangkitan Nasional.
2001
13 Desember
Museum Kebangkitan Nasional menjadi Unit Pelaksana Teknis di bawah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
2012
Museum Kebangkitan Nasional menjadi Unit Pelaksana Teknis di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Jl. Dr. Abdul Rahman Saleh No.26, RW.5, Senen, Kec. Senen, Kota Jakarta Pusat

(021) 3847975

muskitnas@kemdikbud.go.id

Translate »
Hubungi Kami